Salah
satu fungsi manajemen personalia yang paling sulit adalah penentuan tingkat
kompensasi moneter. Hal ini tidak hanya merupakan salah satu tugas yang paling
rumit, tetapi juga yang paling penting, baik bagi organisasi maupun karyawan.
Penentuan tingkat kompensasi moneter penting bagi organisasi karena upah dan
gaji seringkali merupakan satu-satunya biaya perusahaan terbesar.
Sepanjang
menyangkut organisasi, program-program kompensasi karyawan dirancang untuk
melakukan 3 hal:
1.
Untuk menarik
para karyawan yang cakap ke dalam organisasi.
2.
Untuk memotivasi
mereka mencapai prestasi yang unggul.
3.
Untuk masa dinas
yang panjang.
Faktor-faktor Penting yang Mempengaruhi Kebijakan
Kompensasi
Walaupun dalam penentuan gaji itu dilibatkan
sejumlah besar negoisasi dan dugaan, namun ada faktor-faktor tertentu yang
diakui sangat mempengaruhi keputusan akhir mengenai jumlah gaji dalam nilai
uang. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Permintaan dan
penawaran atas keterampilan-keterampilan karyawan.
Hukum permintaan
dan penawaran ini pada prakteknya menghasilkan “tingkat upah yang sudah
berlaku”.
2.
Organisasi
buruh.
Dalam struktur
hubungan ekonomi, serikat-serikat buruh umumnya mencoba untuk mempengaruhi segi
penawaran. Dalam suatu pemogokan yang menuntut upah yang lebih tinggi,
permintaan majikan agar buruh memenuhi kebutuhan pasar ditentang oleh serikat
buruh dengan cara menahan penawaran tenaga kerja.
3.
Kemampuan
perusahaan untuk membayar.
Serikat-serikat
buruh seringkali menuntut peningkatan kompensasi dengan dalih bahwa perusahaan
yang bersangkutan makmur dan mampu membayar.
4.
Produktivitas
perusahaan dan perekonomian.
Pada tahun 1948,
pengaruh dari peningkatan produktivitas umum dalam perekonomian terhadap
kompensasi khusus bagi sebagian besar karyawan sangat diperhatikan sejak adanya
kontrak yang menghebohkan antara General Motors dengan United Automobile Worker
(UAW).
5.
Biaya hidup.
Rumus lain yang
disambut oleh banyak orang sebagai jawaban adalah penyesuaian upah dengan biaya
hidup. Di antara masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pendekatan ini adalah
sebagai berikut:
a. Tidak ada rumus
biaya hidup yang akan menimbulkan berapakah seharusnya kompensasi dasar itu –
rumus biaya hidup itu hanya menunjukkan bagaimana tariff upah seharusnya
berubah.
b. Pendekatan ini
cenderung untuk mengubah-ubah penghasilan dalam bentuk uang (moneter) tetapi
mempertahankan penghasilan nyata yang mengakibatkan ketidakpuasan buruh.
c. Dalam hal indeks
produktivitas, terdapat masalah pengukuran tertentu dalam memastikan kenaikan-kenaikan
biaya hidup. Namun, indeks harga konsumen dari biro statistik perburuhan
diterima dan diikuti secara luas oleh banyak majikan dan organisasi buruh.
6.
Pemerintah.
Tingkatan
pemerintah yang bermacam-macam seringkali mempunyai hal-hal yang sangat khusus
untuk dibicarakan dalam kaitannya dengan upah dan gaji walaupun setelah ada
ketentuan mengenai kompensasi yang adil pada hakikatnya bersifat teoritis dan
samar-samar.
Keadilan dan Kompensasi
Agar tujuan pertama kita untuk menarik
para karyawan yang mampu bagi organisasi dapat dicapai, personil harus
berkeyakinan bahwa kompensasi yang ditawarkan adalah wajar dan adil. Keadilan
(ekuitas) berkaitan dengan rasa keadilan (felt
justice) menurut hak dan hukum alam.
Dalam tabel 1, dikemukakan sembilan
situasi yang berbeda. Teori keadilan akan menghipotesiskan bahwa korelasi
antara pembayaran dan sumbangan yang ada dalam kotak 3, 5, dan 7 akan
menghasilkan perasaan adil.
Mengenai karyawan yang mendapat imbalan terlalu
besar (kotak 1, 2, dan 4), penelitian yang dimulai oleh Adams mengemukakan
bahwa perasaan tidak senang dan perasaan bersalah yang diakibatkan oleh
pembayaran yang lebih tinggi yang tidak adil akan mendorong karyawan untuk bertindak
mengurangi ketidakserasian.
Menurut pengamatan, banyak
organisasi menganut kebijakan peningkatan upah seperti dalam kotak 4, 5, dan 6.
Karyawan dengan sumbangan rata-rata dibayar sesuai dengan kenaikan rata-rata
dalam upah, tetapi mereka yang di atas dan di bawah rata-rata diberikan
kompensasi yang tidak begitu berbeda.
Untuk mengatasi kemungkinan perasaan
ketidakadilan (inequity), berbagai
organisasi mengikuti kebiasaan yang sangat merahasiakan kompensasi yang
diterima. Ini terutama berlaku untuk gaji para eksekutif dan para personil lain
yang tidak diatur oleh perjanjian-perjanjian perburuhan.
Nilai yang Sebanding
Undang-undang persamaan upah (Equal Pay Act) melarang para majikan untuk membeda-bedakan karyawan
berdasarkan jenis kelamin dengan cara membedakan tarif untuk jenis kelamin yang
berbeda. Walaupun undang-undang ini telah berumur 20 tahun, namun kompensasi
rata-rata bagi wanita selama ini hanya berkisar 60% dari kompensasi untuk pria.
Evaluasi Pekerjaan
Sebagai langkah pertama dalam
mengejar keadilan, harus dibentuk suatu hubungan yang konsisten dan sistematik
antara tingkat-tingkat kompensasi dasar bagi semua pekerjaan di dalam
organisasi yang bersangkutan. Proses pembentukan semacam itu disebut “evaluasi
kerja” dan tidak boleh dikacaukan dengan analisa pekerjaan, yang berhubungan
dengan pengumpulan data pekerjaan.
Sasaran langsung dari proses
evaluasi pekerjaan adalah untuk memperoleh konsistensi internal dan eksternal
dalam hal upah dan gaji. Konsistensi internal berhubungan dengan konsep upah
relatif pada perusahaan yang bersangkutan. Konsistensi eksternal merujuk kepada
suatu relativitas yang diinginkan antara struktur upah organisasi dengan struktur
upah di dalam masyarakat, industri, atau negara.Organisasi itu boleh memilih
untuk membayar lebih tinggi, lebih rendah, atau sama dengan tarif yang berlaku.
Walaupun konsistensi internal dan
eksternal adalah sasaran langsung dari evaluasi pekerjaan, sasaran akhirnya
adalah kepuasan karyawan dan majikan terhadap upah dan gaji yang dibayar.
Sebagai suatu metode manajemen personalia, evaluasi pekerjaan belum lama
digunakan. Percobaan-percobaan terdahulu yang berkaiotan dengan hal ini
diadakan pada tahun 1920-an, dan periode pertumbuhan yang paling cepat terjadi
selama tahun 1940-an. Peningkatan pemakaian evaluasi pekerjaan secara luas itu
disebabkan oleh tumbuhnya ukuran dan kompleksitas organisasi-organisasi modern,
dan juga oleh tuntuan masyarakat yang mempertanyakan apa yang menjadi dasar
untuk perbedaan upah yang diberikan kepada karyawan wanita dan berbagai
kelompok minoritas. Ini menuntut suatu pendekatan terhadap pengukuran dan
pencatatan nilai pekerjaan secara sistematik dan dapat dipertahankan.
Dalam menyusun pendekatan terhadap
pengukuran nilai pekerjaan secara sistematik, terhadap sejumlah prasyarat yang
diperlukan. Pertama, uraian-uraian dan spesifikasi pekerjaan yang cukup jelas
dan teliti harus tersedia untuk memberikan data yang berhubungan dengan
faktor-faktor yang akan diukur. Kedua, harus diambil keputusan sehubungan
dengan kelompok-kelompok karyawan dan pekerjaan yang akan diliput oleh suatu
sistem evaluasi tunggal. Prasyarat yang terakhir adalah “penjualan” gagasan ide
mengenai evaluasi sistematik bagi semua peserta dalam sistem itu. Penjualan
pendekatan ide itu merupakan langkah pertama dan langkah terakhir, dan
penekanannya konsisten dengan konsep bahwa gaji yang tetap haruslah memuaskan
karyawan dan majikan sekaligus.
Sistem-Sistem Evaluasi Pekerjaan
Ada empat sistem dasar dalam manajemen pekerjaan
yang digunakan dewasa ini. Sistem dasar itu dibagi menjadi 2 kategori. Kategori
pertama mencakup metode-metode yang lebih sederhana, yang tidak menggunakan
faktor-faktor pekerjaan yang rinci. Pekerjaan diperlakukan sebagai suatu
keseluruhan dan seringkali digunakan uraian pekerjaan, buku spesifikasi
pekerjaan. Terdapat dua sistem yang tidak kuantitatif yaitu penetapan peringkat
sederhana dan penggolongan mutu (grading).
Sistem-sistem tersebut paling terkenal pada organisasi-organisasi pemerintahan.
Kategori kedua mencakup beberapa
sistem yang menggunakan pendekatan lebih rinci. Kategori ini dikenal sebagai
pendekatan kuantitatif dan meliputi sistem butir dalam (point system) dan sistem terbentuknya faktor.
Penetapan Peringkat yang Sederhana
Sistem penetapan peringkat yang
sederhana mempunyai banyak cacat. Kebaikannya yang terbesar yaitu
kesederhanaan, juga merupakan suatu kerugian dalam arti pengukuran itu agak
kasar. Sulit untuk mengukur kesuluruhan pekerjaan, dan tidak ada skala nilai
atau ukuran yang ditetapkan sebelumnya untuk digunakan oleh para penilai
tersebut. Setiap penilai mempunyai peringkat kriterianya sendiri, dan adalah
sulit untuk menjelaskan akibatnya bagi seseoran pemegang pekerjaan.
Penggolongan Mutu Pekerjaan
Ada dua pendekatan untuk menuliskan
uraian golonan mutu yang akan menciptakan suatu skala nilai tunggal untuk
mengukur nilai pekerjaan. Pertama, pekerjaan bisa diberi peringkat dan ditentukan
kelasnya secara alami. Jika pekerjaan x dan y berada di dalam satu kelas, dan
A, N, dan M dalam kelas yang lain, maka uraian-uraian pekerjaan ini dapat
digunakan dalam menciptakan dua uraian golongan mutu. Ada juga kemungkinan
untuk mengubah suatu sistem perbandingan faktor dan sistem butir menjadi sistem
uraian golongan mutu melalui proses ini. Kedua, kita dapat meminta suatu
panitia untuk menentukan lebih dahulu serangkaian definisi golongan mutu.
Setelah skala nilai kita tentukan,
kita dapat melanjutkan proses evaluasi pekerjaan yang menggunakan sistem
penggolongan mutu dengan membacar uraian pekerjaan, membaca uraian golongan
mutu, dan kemudian menempatkan pekerjaan itu pada suatu golongan mutu tertentu.
Penggolongan mutu pekerjaan dianggap sebagai suatu perbaikan atas penetapan
peringkat dengan adanya faktor pembanding, yaitu skala nilai yang ditentukan
sebelumnya. Kelemahan utama dari pendekatan golongan mutu pekerjaan adalah
terletak pada adanya keharusan untuk menggunakan keadaan-keadaan umum yang luas
dalam merumuskan golongan mutu.
Sistem Butir
Metode evaluasi yang paling digunakan adalah sistem
butir (point system). Sistem ini,
sebagaimana halnya dengan sistem perbandingan faktor, melibatkan suatu
pendekatan yang lebih rinci, kuatitatif, dan analitis dalam mengukur nilai
pekerjaan. Cara terbaik dalam menguraiakan seistem ini adalah dengan menyajikan
dan membahas serangkaian langkah untuk merancang dan melaksanakannya. Prosedur
yang disarankan adalah sebagai berikut:
1.
Memilih
faktor-faktor atau ciri-ciri pekerjaan.
Berlawanan
dengan metode penetapan peringkat dan penggolongan mutu, yang mengukur
pekerjaan sebagai kesuluruhan, sistem butir adalah suatu pendekatan yang lebih
analitis dan berhubungan dengan komponen-komponen atau faktor-faktor pekerjaan.
Jumalah faktor yang digunakan dalam setiap sistem bervariasi sesuai dengan
organisasinya. Pada umumnya ada 4 faktor utama yang digunakan yaitu
keterampilan tanggumg jawab, usaha, dan kondisi kerja. Pengukuran keterampilan
dilakukan secara tidak langsung melalui evaluasi atas persyaratan yang dituntut
pekerjaan berupa pendidikan, pengalaman, dan inisiatif. Tanggung jawab
dievaluasi secara lebih khusus melalui suatu pengukuran atas jumlah nilai dari
peralatan-peralatan dan jumlah serta jenis personalia yang menjadi tanggung
gugat dari pemegang kerja.
2.
Menyusun suatu
skala atau ukuran nilai untuk setiap faktor pekerjaan.
Untuk setiap
faktor yang dianggap penting harus disusun suatu ukuran atau skala nilai untuk
memungkinkan pengukuran faktor dalam setiap pekerjaan. Keputusan pertama adalah
penentuan jumlah seluruh butir yang akan digunakan oleh seluruh sistem. Dalam
sebagian besar sisitem, faktor keterampilan diberi persentase nilai yang
terbesar. Tanggung jawab biasanya diurutkan kedua dan usaha serta kondisi kerja
diberi nilai yang kira-kira sama.
3.
Mengevaluasi
semua pekerjaan dengan menggunakan ukuran tersebut.
Jika skala-skala
yang dapat dipercaya untuk setiap faktor telah disusun, dan jika terdapat
spesifikasi pekerjaan yang rinci, maka diproses evaluasi maka akan menjadi
sangat sederhana. Dalam praktek, evaluasi pekerjaan pada umunya dilakukan pada
suatu panitia, yang para anggotanya mungkin mempunyai berbagai macam tingkat
keakraban dengan pekerjaan yang harus dinilai.
4.
Melakukan survey
upah untuk pekerjaan-pekerjaan penting yang dipilih.
Langkah pertama
dalam suatu survey upah adalah pemilihan pejkerjaan-pekerjaan penting yang
tugas-tugasnya dirumuskan dengan jelas, cukup stabil, dan mewakili semua
tingkat nilai pekerjaan. Kedua, suatu sampel dari perusahaan-perusahaan dalam
wilayah pasar tenaga kerja harus dipilih. Data yang diperoleh dari survey dan
dianalisis dan dirata-ratakan. Nilai uang dari pekerjaan-pekerjaan penting
selanjutnya dapat digambar pada bagan upah.
5.
Merancang
struktur upah.
Pada umumnya
rancangan struktur upah bekisar pada penyusunan kelas-kelas pekerjaan dan
rentang-rentang tarif. Perusahaan bisa memilih untuk membayarkan tarif yang
sama untuk setiap kelas pekerjaan atau tarif yang berbada-beda di dalam suatu
rentang tarif untuk setiap kelas. Rentang-rentang tariff memungkinkan adanya
perbedaan kompensasi untuk pekerjaan dalam kelas yang sama. Tempat atau lokasi
dari rentang-rentang tarif dalam hubungannya dengan garis kecenderungan (trend)
dari tarif yang sedang berlaku merupakan masalah kebijakan kompensasi.
6.
Menyesuaikan dan
melaksanakan struktur upah tersebut.
Struktur upah yang sudah dikembangkan merupakan
suatu standar untuk menentukan administrasi upah. Idealnya, semua upah yang
dibayar harus berada di dalam batas-batas yang ditentukan oleh struktur itu.
Sudah merupakan prinsip utama dari administrasi upah dan gaji bahwa
penggunanaan evaluasi pekerjaan tidak akan menyebabkan pengurangan upah.
Sistem Perbandingan Faktor
Pada
pokoknya, sistem ini merupakan suatu penerapan dari sistem perbandingan antar
karyawan berdasarkan tingkat prestasi untuk mengevaluasi pekerjaan.
Langkah-langkah dalam sistem ini adalah sebagai berikut:
1.
Memilih
faktor-faktor pekerjaan.
2.
Memilih
pekerjaan-pekerjaan penting.
3.
Menetukan tarif
yang benar untuk pekerjaan-pekerjaan penting.
4.
Memberi
peringkat pekerjaan-pekerjaan penting menurut setiap faktor pekerjaan.
5.
Mengalokasikan
tarif yang benar dari setiap pekerjaan penting kepada faktor-faktor pekerjaan.
6.
Mengevaluasi
setiap pekerjaan lain berdasarkan ukuran-ukuran faktor ini.
7.
Merancang,
menyesuaikan, dan melaksanakan struktur upah tersebut.
Pengaruh Evaluasi Pekerjaan Terhadap Hubungan
Kemanusiaan
Evaluasi pekerjaan adalah suatu proses penentuan
upah dan gaji yang sistematik, bukan suatu proses yang ilmiah. Evaluasi ini
mempunyai tingkat reliabiltas atau keandalan yang tinggi, tetapi keabsahannya
harus ditentukan dengan mempelajari dampaknya terhadap kepuasan karyawan.
Kesulitan lainnya yang timbul dari penggunaan evaluasi pekerjaan adalah bahwa
hal itu biasanya akan mendorong peningkatan jumlah keluhan sehubungan dengan
upah. Evaluasi pekerjaan memberikan suatu definisi yang tajam terhadap struktur
upah yang tidak dimiliki sebelumnya dan, akibatnya mengarahkan sorotan pada
upah. Akhirnya, sering kali terdapat pertentangan antara nilai-nilai karyawan
dan manajemen dalam evalusi pekerjaan.
No comments:
Post a Comment